-->

In Foundie-Matrikulasi

Membangun Peradaban dari dalam Rumah (NHW#3)

Bismillah..

Poin A: Suamiku Pemimpin Tim yang baik
Nice Homework kali ini adalah suatu tantangan lagi bagi saya. Saya memang seorang yang senang menulis meskipun tidak profesional. Membuat surat? Itu perkara mudah, namun justru tantangannya karena saya mungkin sudah terlalu sering (seingat saya baru beberapa hari lalu menulis mencurahkan isi hati kepada suami, meskipun tidak dengan pena dan sepucuk amplop). Saya lebih merasa lega jika dapat menuangkan isi hati dalam bentuk tulisan setelah itu baru bisa berbincang secara langsung. Namun, sayangnya suami saya adalah tipe yang berkebalikan dari saya. Ia lebih nyaman jika langsung berbicara, to the point. Benar saja, respon darinya lagi-lagi tidak sesuai harapan. Tapi saya tahu dia sebenarnya tahu.
Usia pernikahan kami memang baru seumur jagung. Tahun ini akan menjadi tahun ketiga kami berumah tangga. Orang bilang masa 5 tahun pertama adalah yang terberat, jika berhasil melaluinya dengan maka akan langgeng seumur hidup? Benarkah itu? Wallahu a’lam, saya tidak ingin terpaku tapi juga tidak ingin terlalu menggampangkan.
Saya bersyukur memiliki dia sebagai seorang suami. Sosoknya yang tidak mudah marah, membuat saya malu ketika marah lalu bertindak tidak patut. Maka saya berusaha untuk mengurangi sikap negatif saat marah. Ia sosok yang sangat bertanggung jawab mencukupi kebutuhan kami dengan kerja kerasnya. Ia bahkan bersedia meluangkan waktunya untuk bertukar pendapat, juga mendukung kebijakan saya tentang pengasuhan dan pendidikan anak kami. Suami adalah seorang yang tidak mudah disetir oleh siapapun. Jadi jika kami memiliki satu pandangan yang berbeda dari kebanyakan dan itu adalah hal baik, ia tak ragu untuk melakukannya.
Namun seperti manusia lain ia tak sempurna, ia melakukan kesalahan dan pernah juga membuat saya kecewa. Tetapi sayapun demikian, mungkin porsi marah saya lebih besar darinya, yang bisa jadi itulah sumber ketidakbersyukuran saya selama ini. Saya dan suami masih akan terus belajar. Kami akan saling menemukan kebaikan dan menumbuh-kembangkannya bersama. Saya yakin bahtera yang dipimpinnya ini akan menuju kebaikan. Biidznillah, masih akan ada tahun-tahun akan datang yang akan menempa kami menjadi sepasang suami-istri yang makin baik nantinya. Saya percayakan ia menjadi imam dan ayah yang amanah terhadap kami keluarga barunya.
Berikut surat cinta ala saya yang saya berikan kepada suami.












Poin B: Anakku adalah Kebanggaan
“Anakku adalah kebanggaanku”. Begitu kiranya slogan semua ibu di seluruh dunia. Bagi saya pun demikian, dialah sosok kecil yang berjuang dari Rahim yang hangat menuju dunia yang sama sekali belum ia kenal. Ia percaya dan menatap mata saya ketika pertama kami bertatap muka. Usianya kini baru 16 bulan, namun saya memiliki harapan besar bahwa ia kelak akan menjadi anak shalih yang baik akhlaqnya dan kuat imannya. Sejak bayi saya melihat detail tumbuh dan kembangnya. Ia anak yang ceria, kuat dan tidak mudah menyerah. Alhamdulillah, rasa syukur tiap hari bahkan mungkin tidak cukup untuk mengungkapkan rasa bahagia saya menjadi ibunya.
Setiap hari saya disuguhi dengan kemampuannya belajar banyak hal. Senyum terkembang dan gerak aktifnya tak luput dari keseharian. Ia adalah tipe anak Kinestetik yang selalu suka mengeksplorasi sekitar, sehingga rumah berantakan adalah tontonan harian. Saya tidak ingin membatasi ruang kreatifnya sebagai anak yang baru belajar dengan diri dan sekitarnya. Ia bahkan senang bergaul dengan siapapun, maasyaAllaah, betapa berbeda dari ibunya yang pemalu ini.
Betapa saya bangga akan anak saya, amanah Allah ini ingin saya jaga sebaik mungkin. Saya bersyukur dapat menjadi perantara diutusnya seorang manusia yang kelak akan menjadi pejuang agamaNya, semoga saya mampu dan terus istiqomah berjuang membersamainya.

Poin C: Potensi Kekuatan Diriku







Dengan bantuan temubakat.com saya menyadari beberapa potensi kekuatan yang saya miliki yang telah dianugerahkan Allah kepada saya. Alhamdulillah. Beberapa potensi tersebut telah saya ketahui namun ada juga yang belum. Tugas saya selanjutnya adalah memaksimalkan potensi kekuatan tersebut agar peran saya sebagai seorang perempuan, istri dan ibu dapat terlaksana dengan sebaik mungkin.
Allah memberi saya potensi kekuatan sebagai pendidik, maka saya harus memaksimalkan potensi tersebut untuk mendidik anak saya sebaik mungkin. Saya berusaha membuat rancangan pendidikan yang saya yakini akan membawa anak saya menuju pribadi yang baik, insyaAllah biidznillah. Allah juga memberikan potensi kepada saya sebagai ibu dan istri yang sangat peduli kepada keluarga, sebab itu saya memilih berkarir di rumah. Menjadi sosok yang mendukung berkembangnya kebaikan bagi suami dan anak dari dalam rumah.
Allah menakdirkan saya menjadi isri dari suami saya, adalah untuk melengkapi kekurangannya. Ketika saya berpikir saya ingin mengubah dirinya tapi ternyata itu bukanlah tugas saya. Maka saya akan menjadi pendukung dan pemberi semangat baginya. Bahwa ia mampu dan sangat layak menjadi imam yang baik bagi kami. Saya cukup memperbanyak doa dan tirakat, Allah Maha Pemilik kehidupan yang akan mengatur kesudahannya.
Mengutip dari buku yang ditulis oleh Salim A. Fillah Hadits Riwayat Abu Dawud, “Tiga kunci kebahagiaan seorang laki-laki: (1) Istri shalihah yang jika dipandang membuatmu semakin sayang, jika kamu pergi membuatmu merasa aman karena bisa menjaga kehormatan dirinya dan hartamu. (2) Kendaraan yang baik yang bisa mengantarmu kemanapun pergi. Dan, (3) rumah yang lapang, damai, penuh kasih sayang.”
Maka saya ingin menjadi salah satu sumber kebahagiaan bagi suami saya. Sumber kebanggaan keluarga berkat curah kasih sayang yang saya hadirkan di tengah keluarga. Potensi kekuatan yang dikaruniakan Allah adalah modal, bahkan kelemahan saya adalah juga modal yang patut disyukuri. Semoga saya bisa menghadirkan diri saya secara utuh dan penuh agar bahtera yang saya tumpangi ini dapat berjalan menuju tujuan yang benar, tujuan yang hakiki. Yakni ridho Ilahi.

Poin D: Lingkungan yang Menumbuhkan dan Ditumbuhkan
    Saat ini saya tinggal bersama keluarga kecil saya di sepetak rumah kontrakan yang tidak terlalu besar, cukup untuk kami tinggali. Alhamdulillah. Letaknya tak jauh dari kediaman mertua saya. Pun dari rumah orang tua saya hanya berjarak kurang dari 30 menit perjalanan. Kami baru menempati rumah tersebut selama kurang lebih 10 bulan. Adaptasi tentunya menjadi langkah yang masih terus kami lakukan hingga saat ini. Saya bersyukur bisa belajar mandiri setelah beberapa bulan setelah menikah kami tinggal dengan keluarga saya. Tantangan saat ini hadir ketika saya merasa rumah tangga kami agak diikutsertai oleh keluarga suami. Namun ternyata karena suami adalah seorang yang berpendirian kuat, ia mampu mengambil tindakan tegas. Jika memang tidak sesuai dengan kebijakan yang kami sepakati dalam rumah tangga kami, maka ia tak akan mengambilnya. Saya sadar bahwa memang tugas suami untuk menjadi anak yang berbakti, namun kembali lagi bahwa rumah tangga kami adalah tanggung jawab kami yang akan dipertanggungjawabkan kelak. Tugas saya berikutnya adalah menjadi mediator yang baik antara kami dan keluarga (baik keluarga saya maupun keluarga kami).
    Tantangan yang masih terus saya jalani juga adalah bahwa anggapan orang tentang menikah muda dan memilih menjadi ibu yang berkarir di ranah domestik setelah menempuh pendidikan di perguruan tinggi masih menjadi permasalahan. Banyak tetangga orang tua saya yang menyayangkan keputusan yang saya ambil. Anggapan “untuk apa kuliah, sekolah tinggi-tinggi, jika pada akhirnya hanya menikah lalu mengurus anak” tampaknya masih banyak di tengah masyarakat kita. Para tetangga saya pun demikian, mungkin maksud mereka adalah saya harusnya bisa menghasilkan materi agar dapat membalas jasa pada orang tua. Mengingat keluarga saya memang bukan dari kalangan yang berada. Saya dapat bersekolah pun berkat adanya bantuan beasiswa. Namun saya memiliki pandangan tersendiri terhadap hal ini. Saya percaya bahwa, peran penting seorang (anak) perempuan tidak hanya dapat dilihat ketika ia bisa menghasilkan materi. Lebih jauh dari itu, ditangan seorang perempuanlah generasi penerus peradaban gemilang lahir dan ditempa. Suami pun di awal sebelum menikah juga telah menyepakati hal ini. Urusan mencari materi adalah tanggung jawabnya, sedang saya bertugas mengurus rumah dan segala detailnya.
Kini salah satu tugas kami adalah menunjukkan bahwa rumah tangga muda yang kami jalani bukanlah suatu hal yang dapat disepelekan. Ada amanah besar dari Allah kepada kami, keluarga kami, yakni kami ingin menjadikan keluarga kami sebagai salah satu contoh agar tidak lagi ada anggapan bahwa “perempuan tidak perlu sekolah tinggi”. Perempuan harus sekolah tinggi, agar dapat mendidik anak dengan baik.
Dari lingkungan sekitarlah pikiran dan pandangan saya tumbuh, dan dengan adanya kami disini kami akan ikut serta menumbuhkan kebaikan. Semoga Allah senantiasa membimbing saya pribadi agar menjadi lebih baik, memberi kekuatan pada suami agar mampu menjadi pemimpin yang baik, serta membuat keluarga yang baru kami bina ini menjadi keluarga yang dapat menebar kebaikan bagi sekitar. Seperti doa yang dipanjatkan ketika kami menikah, Sakinah Mawaddah wa Rahmah. Kami ingin pernikahan ini tidak sekedar menyatukan dua hati, dua keluarga, tetapi lebih jauh dari itu menjadi keluarga yang dapat menjadi barisan penebar Rahmah dari Sang Maha Rahman wa Rahiim.
   








Related Articles

0 komentar:

Post a Comment

Search This Blog

Matrikulasi

Powered by Blogger.